Rayuan Setan Kredit

Hari jumat yang lalu kartu kredit saya di Bank ‘Independent ‘sudah jadi dan dikirimkan ke kantor. Waduh gaya banget si Ihwan bikin kartu kredit segala?

Suueer deh, kalau bukan karena bujuk rayu dari salah satu staff Bank ‘Independent’ yang berkantor di depan perpustakaan, seumur-umur saya nggak akan tergerak untuk bikin kartu kredit. Berhubung ini merupakan fasilitas buat para pegawai, gratis dan saya juga pengin membantu si staff untuk memenuhi list-nya maka sayapun bersedia mengisi aplikasi pengajuan kartu kredit tersebut.

Saya sudah sering mendengar cerita orang-orang yang terbelit hutang banyak gara-gara terbuai kemudahan berbelanja dengan kartu kredit, oleh sebab itu saya sama sekali tidak tertarik untuk memilikinya. Kalaupun sekarang saya akhirnya punya, saya tidak akan mempergunakannya. Pegang deh ucapan saya ini.

Setelah menerima kartu kredit tersebut saya lalu mengobrol dengan teman-teman di bagian fotokopian. Kebetulan hari itu listrik mati jadi saya bebas tugas dari tugas pelayanan. Daripada ngendon sendirian di bagian internet (temen kerja dan anak PKL belum datang) mending saya sosialita ke bagian yang lain. Hooek cuiih gaya banget ya pake istilah sosialita, mentang-mentang udah pegang kartu kredit. Ngarep dilirik sama Kim Kardashian lo?

Kalau para wanita lagi ngumpul pasti yang diomongin seputar fashion, makanan atau ngosipin temen-temennya (dikeplak para wanita) maka kalau pria-pria dewasa dan matang ngumpul maka yang diomongin adalah seputar masa depan dong.

Mulai dari membahas tentang harga sewa rumah hingga harga tanah, maklum sebagian besar memang teman-teman saya sudah berumah tangga. Tiga orang teman saya barusan mengajukan pinjaman ke bank untuk membeli tanah dan rumah. Jaminannya? Tahu sendirilah, senjata andalan para PNS.

Eh ujung-ujungnya mereka malah meracuni saya untuk segera mengajukan pinjaman ke bank saat saya bilang sudah punya incaran tanah di daerah saya.
“Ayo wes, segera pinjam aja ke bank,harga tanah itu tiap tahun naik lho. Lagian buat apa SK disimpen di rumah mulu, ntar malah jamuran,” begitu bujuk rayu (setan) salah satu teman saya.
Emang sih ada benarnya, harga tanah itu tiap tahun akan naik namun dengan (sok) bijak saya bilang kepada mereka kalau untuk saat ini saya mau konsen dulu mempersiapkan pernikahan, untuk masalah beli tanah nanti dipikirkan berdua sama istri.

Selain itu juga saya masih belum berani untuk pinjam uang dalam jumlah yang sangat besar kepada bank. Membayangkan jumlahnya dan lama waktu untuk pelunasannya aja udah gimanaa gitu. Lain halnya mungkin jika nanti sudah berumah tangga, sudah ada yang diajak rembugan untuk merancang masa depan.

Mau yang cash atau credit babe?