[Melati Pelayu] The First Class: Bu Arni Umbridge yang Malang

Pagi itu hari pertama bagi para akademia untuk menerima ilmu dari para dosen pengajar. Sebelum kuliah dimulai, para akademia diwajibkan mengikuti apel pagi di lapangan AMI. Nampak wajah-wajah penuh semangat para akademia yang telah berbaris rapi dan terbagi menjadi tiga yaitu kelas Terbang, Bantam dan Bulu, eaaaa ini mau belajar apa mau tinju yak 😀

Di ujung kanan, Kelas Terbang mempunyai ketua bernama Dani Malfoy, wakilnya Ardy Eminem dan sekretaris Reny Payus. Sedangkan di sebelahnya Kelas Bantam diketuai oleh Ancharles Xavier, wakilnya Yasdi Sungkar dan Hani Sastrowardoyo sebagai sekretaris. Kelas terakhir, Kelas Bulu diketuai oleh Priyo Suneo, wakilnya Ihwan Cullen (uhuk-uhuk) dan sekretaris Raya Aishwarya Ray.

Setelah mendengarkan sambutan dan wejangan dari pendiri dan pengajar AMI, para akademia pun memasuki kelas masing-masing.

Kelas Terbang

Untuk kuliah jam pertama di kelas Terbang diisi oleh Ibu Arni Umbridge, yang akan mengajarkan ilmu modeling. Dengan langkah penuh percaya diri Ibu Arni menuju ruang kelas Terbang. Suara hak stilettonya yang beradu dengan lantai keramik menimbulkan suara seperti ketokan palu kuli bangunan.

Ketika Bu Arni memasuki kelas, suasana begitu riuh dan gaduh. Anak-anak nampak sedang bergerombol di belakang.
“Wah Dani hebat….” puji Kristin, seorang akademia dari Jakarta yang hobi makan rujak buah.
“Aamaziiing…” pekik Ipiw Suripiw, mojang Bandung yang pemalu.
Rupanya Dani Malfoy sedang memperagakan kemampuan sihirnya di depan para akademia, dengan tongkat sihirnya dia merubah nasi menjadi bubur, jagung menjadi popcorn dan bola tenis menjadi bakso.

“Eheeeeemmmmmm….” lengking Bu Arni dengan memasang muka penuh wibawa.
Demi mendengar suara lengkingan yang mirip dengan suara ayam betina mau kawin itu, para akademia secara serentak menoleh ke pintu. Dani segera menyembunyikan tongkat sihirnya di balik seragamnya.
“Apa yang kalian lakukan di belakang sana?” tanya Bu Arni dengan tatapan penuh curiga.
“Kami sedang arisan Bu,” jawab Ardy spontan. Semua akademia langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan mata: nggak ada yang lebih kerenan dikit apa jawabannya?
“Arisaaan?”
“Iya, Ibu mau ikutan?” tawar Dani yang tidak mau kemampuan sihirnya diketahui.
“Hmmm…” Bu Arni terdiam sejenak.
Para akademia menanti dengan hati berdebar-debar, mereka juga tidak mau kalau gara-gara kemampuan sihir Dani terbongkar, mereka ikut-ikutan mendapat hukuman.
“Emang arisan apa tadi?” tanya Bu Arni malu-malu.
“Arisan makanan Bu. Ntar ngocoknya pas mau buka puasa, jadi langsung buat buka gitu deh.”
“Ya udah deh saya ikutan, tapi jangan bilang-bilang sama dosen lainnya ya. Kalau sampai ada dosen yang tahu, ELO-GUE END…!! Ancam Bu Arni dengan penuh jumawa.

Setelah membayar iuran arisan, Bu Arni membuka pelajaran modelingnya.
“Untuk pelajaran pertama, saya akan mengajarkan tata cara berlenggak-lenggok di catwalk. Berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang model yang sudah melanglang buana ke luar negeri, maka sebagai seorang model kita harus berjalan dengan anggun seperti seekor kucing. Dan saya telah menemukan sebuah teori berjalan yang paling anggun, namanya adalah Teori Kucing Keluen. Kenapa saya namain Kucing Keluen? Lihatlah kucing-kucing itu, meski mereka sedang kelaperan tapi cara berjalan mereka tetap anggun dan jaim. Mereka tidak mau nunjukkin kalau mereka sedang keluen alias kelaparan. Ya udah sekarang beberapa orang silahkan maju ke sini.”

Reny, Vera, Kristin dan Ipiw mendapat giliran pertama maju. Dengan pedenya mereka berjalan layaknya seorang model kelas atas, namun baru beberapa langkah, Bu Arni sudah berteriak histeris.
“Plisss deeeeh, kalian itu jalan kok kayak gitu sih. Itu tadi bukan jalannya kucing, tapi jalannya bebek kekenyangan. Sudah, biar saya tunjukkin dulu.”
Keempat gadis yang diam-diam mempunyai obsesi menjadi model itu nampak sedih sekali mendengarnya.
“Perhatikan baik-baik.”
Lalu dengan penuh keanggunan, Bu Arni melenggak-lenggok di depan kelas. Dia mengingat-ingat lagi kenangan saat dia menjadi salah satu model di peragaan adibusana untuk kaum manula di Eropa. Sialnya baru tiga langkah, mendadak Bu Arni terjatuh dengan suksesnya di depan para akademia. Mukanya merah padam menahan malu, sementara para akademia mati-matian menahan tawa demi melihat musibah yang menimpa dosen mereka.
Ternyata oh ternyata hak stilettonya patah. Dalam hati Bu Arni hermaan setengah mati, kok bisa sih haknya patah, padahal kan kemarin dia baru saja membelinya di Pasar Minggu. Lumayan, sepuluh ribu tiga.
“Saya tinggal dulu sebentar, saya ambil sepatu dulu..” pamit Bu Arni sambil berjalan tergopoh-gopoh menahan rasa malu dan sakit di kakinya.
Begitu Bu Arni hilang dari pandangan, seisi kelas langsung tertawa terbahak-bahak. Rupanya saat Bu Arni berlenggak-lenggok tadi, Dani dengan usilnya merapal mantra Reducto sehingga hak stiletto itu langsung patah jadi dua.

Lalu bagaimanakah kisah di dua kelas lainnya, akankah para dosen yang lain akan mendapatkan ‘ospek’ juga dari para akademia?
Jangan lewatkan kisahnya di episode selanjutnya.

cerita ini juga diikutkan dalam lombanya Feby Gaga(h) yang ada di sini.